Senin, 24 Februari 2014

ANGKUTANKU BER-MURATTAL

Memutuskan diri untuk menjadi bagian dari mereka yang berstatus sebagai ‘Mahasiswa Rantau’ berarti harus siap dengan segala konsekuensi yang ada. Mengurusi hari-hari dengan mandiri, dari buat sarapan sendiri hingga mau tidur lagi. Jauh dari keluarga yang biasanya ada untuk sekadar memberikan senyuman terindahnya di pagi hari atau mengantarkan kita pada mimpi indah di malam hari. ‘Mahasiswa Rantau’ yang juga dituntut untuk bisa dalam menyelesaikan segala urusannya, mulai urusan akademik hingga urusan rumah tangga seperti masak, mencuci baju, dsb. 

Ada satu hal yang tak kalah penting untuk dibahas selain hal di atas, persoalan agama. Jauh dari keluarga sering melenakan kita untuk jauh dari hal ibadah. Jika saat di rumah dengan mudahnya keluarga mengingatkan perihal ibadah seperti shalat atau rutinitas ibadah lainnya, “Nduk, udah shalat belum?”. Namun beda ceritanya jika sudah menginjakkan kaki di tanah rantau, sms atau telepon dari keluarga mungkin hanya 1 kali dalam 1 minggu. Itupun tidak spesifik menanyakan “Udah shalat nduk?” atau “Tilawahnya, sudah berapa lembar hari ini?”, paling hanya menanyakan kabar dan aktivitas apa yang sedang dilakukan saat itu. Pesan dari keluarga terkait ibadah mungkin didapat saat kita pulang ke rumah, “Jangan lupa shalatnya, tilawahnya, inget selalu dengan Allah”. Namun, siapa kira itu mudah dilakukan setelah berada di tanah yang kejam ini?. Dengan segala kekejaman untuk mengurus diri sendiri, kesibukan yang sering dibuat-buat, hingga kenikmatan yang melenakan untuk jauh dari Allah SWT. Untuk itu, perlunya kesadaran untuk berhubungan dengan orang-orang baik di tanah rantau, temukan lingkungan yang membawa dalam kebaikan. Jika memang tetap sulit untuk menemukannya, ciptakanlah lingkungan kebaikan itu untuk dirimu dan orang lain tentunya.

Termasuk pengalaman saya ini.

Suatu pagi, seperti hari-hari biasanya saya pergi ke kampus, menjalani aktivitas sebagai mahasiswa. Pemandangan tidak asing jika banyak mahasiswa menunggu angkutan di pinggir jalan pagi-pagi saat itu. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya angkutan yang sudah hampir penuh itu dapat mengangkut saya menuju kampus tujuan. Angkutan itu penuh sesak, lagi-lagi bukan pemandangan asing yang saya lihat. Namun, ada yang asing saat itu. Ya, sangat asing. Pendengaran saya. Asing di waktu seperti itu, di tempat seperti itu, dan di kondisi seperti itu. Tidak biasa, sungguh luar biasa. Saya memastikan asal suara itu. Cukup jelas, cukup keras dan membuat saya yakin bahwa suara merdu nan syahdu itu berasal dari dashboard mobil angkutan si supir. Suara indah dengan makna indah yang juga diucapkan, untaian kalimat rabbani yang saat itu menemani perjalanan saya ke kampus, murattal Al Qur’an!  

Fakultas saya terletak cukup jauh (bagian dalam) dibanding fakultas yang lainnya. Sering saya tinggal seorang diri, hanya bersama sang supir saat sampai di fakultas karena penumpang lain telah turun sebelum saya. Kondisi seperti itu tidak saya sia-siakan untuk sigap menanyakan perihal pendengaran yang menurut saya asing di angkutan tersebut.
“Pak, saya kagum sama angkutan bapak ini. Eh, maksud saya kagum sama bapak.”
“Kenapa memang mbak?”
“Saya baru pertama kali naik angkutan yang playlistnya murattal Juz ‘Amma gini. Angkutan lain biasanya lagu pop atau paling sering dangdut koplo.”
“Oh gitu, ya alhamdulillah.”
Hanya begitu jawab si supir, singkat jelas, mencoba berusaha untuk bersikap rendah hati atas segala perlakuannya.

“Kenapa pak?”
“Kenapa apanya mbak?”
“Iya, disaat teman-teman bapak memilih untuk memutar lagu pop atau dangdut koplo, kenapa bapak lebih memilih memutar murattal Al Qur’an ini?”
“Selama tidak ada yang melarang, tidak masalah toh mbak?.” Lagi-lagi pertanyaan si supir yang mencoba untuk selalu rendah hati.

“Iya pak, tapi saya punya keyakinan kalo bapak punya alasan tersendiri atas hal ini.” “Memang sudah zaman aneh, entah zaman apa. Ketika mencoba untuk membangun lingkungan kebaikan disekitar malah ditanya-tanya.”
“Sebentar pak, bukan maksud seperti itu. Saya hanya ingin tahu alasan yang mendasari bapak melakukan ini. Bukan untuk memojokkan bapak.”

“Saya hanya supir angkutan yang kerjanya bolak-balik mbak, antar-jemput penumpang dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Mayoritas penumpang saya mahasiswa. Sekarang sudah banyak kondisi yang menyeret kita dalam kondisi-kondisi yang menjerumuskan pada kemaksiatan. Saya hanya ingin menciptakan kondisi yang sedikit bisa menyeret kalian (re : mahasiswa) ke arah kebaikan.”

“Pak...,” desahku.
“Karena saya menyadari, tugas saya cukup riskan untuk sering berada di dekat kalian (re : mahasiswa). Agen perubahan, pemuda-pemuda yang nantinya akan menggantikan pemimpin-pemimpin yang saat ini kebanyakan oportunis. Jika nantipun tidak berada di posisi-posisi penting seperti itu, minimal bisa menjadi agen perubahan ke arah kebaikan. Dimanapun posisnya, kapanpun waktunya. Hanya itu.”

Tiba-tiba air dari saluran lakrimal ini membasahi pipi.
“Dengan saya memutar murattal Al Qur’an di angkutan saya ini, hanya berharap bisa mempengaruhi hal-hal baik kepada lingkungan sekitar. Walaupun saya hanya supir angkutan, saya harus ikut andil dalam perubahan ke arah kebaikan untuk bangsa ini lewat kalian (re : mahasiswa), melalui jalan dan pedoman hidup saya, ISLAM . ” Jelas si supir sambil senyum.

“FMIPA mbak,”
Si supir menyadarkan saya jika mobil angkutannya sudah berada di depan gerbang fakultas saya. Sayapun turun.

Sambil merogoh uang di saku, saya menghapus air yang terus membasahi pipi ini.
“Terimakasih pak,” sembari memberikan uang angkutan dan senyum.

Hari itu, saya banyak belajar dari si supir angkutan. Profesinya mungkin rendah dihadapan banyak orang, khususnya mahasiswa yang sering menggunakan jasanya dan mengabaikannya. Namun, apa yang saya saksikan saat itu membuat saya sadar bahwa hal yang dilakukan saat itu yang membuatnya besar di hadapan saya, terlebih di hadapan Allah SWT. Si supir mengajarkan nilai-nilai kebaikan itu dapat diciptakan melalui hal kecil yang ikhlas kita persembahkan. Melalui Islam, pedoman utama menjalani kehidupan ini. Nilai-nilai Islam bisa kita temukan dan kita ciptakan. Dimanapun posisinya, kapanpun waktunya, dan kepada siapapun. Termasuk menjadi “Mahasiswa Rantau.”


Tidak ada komentar: