Memutuskan diri untuk menjadi bagian
dari mereka yang berstatus sebagai ‘Mahasiswa Rantau’ berarti harus siap dengan
segala konsekuensi yang ada. Mengurusi hari-hari dengan mandiri, dari buat
sarapan sendiri hingga mau tidur lagi. Jauh dari keluarga yang biasanya ada
untuk sekadar memberikan senyuman terindahnya di pagi hari atau mengantarkan
kita pada mimpi indah di malam hari. ‘Mahasiswa Rantau’ yang juga dituntut
untuk bisa dalam menyelesaikan segala urusannya, mulai urusan akademik hingga
urusan rumah tangga seperti masak, mencuci baju, dsb.
Ada satu hal yang tak kalah penting
untuk dibahas selain hal di atas, persoalan agama. Jauh dari keluarga sering
melenakan kita untuk jauh dari hal ibadah. Jika saat di rumah dengan mudahnya
keluarga mengingatkan perihal ibadah seperti shalat atau rutinitas ibadah
lainnya, “Nduk, udah shalat belum?”. Namun beda ceritanya jika sudah
menginjakkan kaki di tanah rantau, sms atau telepon dari keluarga mungkin hanya
1 kali dalam 1 minggu. Itupun tidak spesifik menanyakan “Udah shalat nduk?” atau
“Tilawahnya, sudah berapa lembar hari ini?”, paling hanya menanyakan kabar dan
aktivitas apa yang sedang dilakukan saat itu. Pesan dari keluarga terkait
ibadah mungkin didapat saat kita pulang ke rumah, “Jangan lupa shalatnya,
tilawahnya, inget selalu dengan Allah”. Namun, siapa kira itu mudah dilakukan
setelah berada di tanah yang kejam ini?. Dengan segala kekejaman untuk mengurus
diri sendiri, kesibukan yang sering dibuat-buat, hingga kenikmatan yang melenakan
untuk jauh dari Allah SWT. Untuk itu, perlunya kesadaran untuk berhubungan
dengan orang-orang baik di tanah rantau, temukan lingkungan yang membawa dalam
kebaikan. Jika memang tetap sulit untuk menemukannya, ciptakanlah lingkungan
kebaikan itu untuk dirimu dan orang lain tentunya.
Termasuk pengalaman saya ini.
Suatu pagi, seperti hari-hari biasanya
saya pergi ke kampus, menjalani aktivitas sebagai mahasiswa. Pemandangan tidak
asing jika banyak mahasiswa menunggu angkutan di pinggir jalan pagi-pagi saat itu.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya angkutan yang sudah hampir penuh itu
dapat mengangkut saya menuju kampus tujuan. Angkutan itu penuh sesak, lagi-lagi
bukan pemandangan asing yang saya lihat. Namun, ada yang asing saat itu. Ya, sangat
asing. Pendengaran saya. Asing di waktu seperti itu, di tempat seperti itu, dan
di kondisi seperti itu. Tidak biasa, sungguh luar biasa. Saya memastikan asal
suara itu. Cukup jelas, cukup keras dan membuat saya yakin bahwa suara merdu
nan syahdu itu berasal dari dashboard mobil
angkutan si supir. Suara indah dengan makna indah yang juga diucapkan, untaian
kalimat rabbani yang saat itu menemani perjalanan saya ke kampus, murattal Al
Qur’an!
Fakultas saya terletak cukup jauh
(bagian dalam) dibanding fakultas yang lainnya. Sering saya tinggal seorang
diri, hanya bersama sang supir saat sampai di fakultas karena penumpang lain
telah turun sebelum saya. Kondisi seperti itu tidak saya sia-siakan untuk sigap
menanyakan perihal pendengaran yang menurut saya asing di angkutan tersebut.
“Pak, saya kagum sama angkutan bapak
ini. Eh, maksud saya kagum sama bapak.”
“Kenapa memang mbak?”
“Saya baru pertama kali naik angkutan
yang playlistnya murattal Juz ‘Amma
gini. Angkutan lain biasanya lagu pop atau paling sering dangdut koplo.”
“Oh gitu, ya alhamdulillah.”
Hanya begitu jawab si supir, singkat
jelas, mencoba berusaha untuk bersikap rendah hati atas segala perlakuannya.
“Kenapa pak?”
“Kenapa apanya mbak?”
“Iya, disaat teman-teman bapak memilih
untuk memutar lagu pop atau dangdut koplo, kenapa bapak lebih memilih memutar
murattal Al Qur’an ini?”
“Selama tidak ada yang melarang, tidak
masalah toh mbak?.” Lagi-lagi
pertanyaan si supir yang mencoba untuk selalu rendah hati.
“Iya pak, tapi saya punya keyakinan kalo
bapak punya alasan tersendiri atas hal ini.” “Memang sudah zaman aneh, entah
zaman apa. Ketika mencoba untuk membangun lingkungan kebaikan disekitar malah
ditanya-tanya.”
“Sebentar pak, bukan maksud seperti itu.
Saya hanya ingin tahu alasan yang mendasari bapak melakukan ini. Bukan untuk
memojokkan bapak.”
“Saya hanya supir angkutan yang kerjanya
bolak-balik mbak, antar-jemput penumpang dari tempat yang satu ke tempat
lainnya. Mayoritas penumpang saya mahasiswa. Sekarang sudah banyak kondisi yang
menyeret kita dalam kondisi-kondisi yang menjerumuskan pada kemaksiatan. Saya
hanya ingin menciptakan kondisi yang sedikit bisa menyeret kalian (re :
mahasiswa) ke arah kebaikan.”
“Pak...,” desahku.
“Karena saya menyadari, tugas saya cukup
riskan untuk sering berada di dekat kalian (re : mahasiswa). Agen perubahan,
pemuda-pemuda yang nantinya akan menggantikan pemimpin-pemimpin yang saat ini
kebanyakan oportunis. Jika nantipun tidak berada di posisi-posisi penting
seperti itu, minimal bisa menjadi agen perubahan ke arah kebaikan. Dimanapun
posisnya, kapanpun waktunya. Hanya itu.”
Tiba-tiba air dari saluran lakrimal ini
membasahi pipi.
“Dengan saya memutar murattal Al Qur’an di
angkutan saya ini, hanya berharap bisa mempengaruhi hal-hal baik kepada lingkungan
sekitar. Walaupun saya hanya supir angkutan, saya harus ikut andil dalam
perubahan ke arah kebaikan untuk bangsa ini lewat kalian (re : mahasiswa),
melalui jalan dan pedoman hidup saya, ISLAM . ” Jelas si supir sambil senyum.
“FMIPA mbak,”
Si supir menyadarkan saya jika mobil
angkutannya sudah berada di depan gerbang fakultas saya. Sayapun turun.
Sambil merogoh uang di saku, saya
menghapus air yang terus membasahi pipi ini.
“Terimakasih pak,” sembari memberikan
uang angkutan dan senyum.
Hari itu, saya banyak belajar dari si
supir angkutan. Profesinya mungkin rendah dihadapan banyak orang, khususnya
mahasiswa yang sering menggunakan jasanya dan mengabaikannya. Namun, apa yang
saya saksikan saat itu membuat saya sadar bahwa hal yang dilakukan saat itu
yang membuatnya besar di hadapan saya, terlebih di hadapan Allah SWT. Si supir
mengajarkan nilai-nilai kebaikan itu dapat diciptakan melalui hal kecil yang
ikhlas kita persembahkan. Melalui Islam, pedoman utama menjalani kehidupan ini.
Nilai-nilai Islam bisa kita temukan dan kita ciptakan. Dimanapun posisinya,
kapanpun waktunya, dan kepada siapapun. Termasuk
menjadi “Mahasiswa Rantau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar