Selasa, 11 Maret 2014

RELUNG NEGERI BUATKU JATUH HATI

“Begitu indah tanah mereka dan aku mengaguminya. Begitu banyak yang tak ku punya, kita begitu berbeda. Tapi aku tak ingin, karena aku telah jatuh cinta. Hati telah memilih menambatkan cintanya di satu bendera.” Tangga – Satu Bendera 

Kampung halaman memang tempat paling indah. Bahkan bagi mereka yang pernah mengunjungi tempat paling indah di dunia ini. Ada rasa ingin kembali saat kita jauh. Aroma tanah gembur yang menghangatkan, semilir angin yang menyegarkan, kicau burung yang menenangakan, hingga hamparan rumput hijau yang membuat mata ini tak ingin beranjak dari pandangannya. Tempat yang terisolasi dari kejamnya perkembangan teknologi, membuat kampungku menjadi tempat paling nyaman untuk sejenak merebahkan tubuh yang sering dipaksa memenuhi tuntutan zaman. Saat ku tak ada didekatnya, ada sesuatu yang hilang. Seperti langit yang kehilangan awan cerahnya. Hingga detik ini, aku tak mampu mendefinisikan besarnya cintaku padanya. Terlalu banyak misteri yang tak mampu ku ungkap. Mungkin terlalu banyak hal indah yang ku rasakan saat ku dekat dengannya.

Hampir 20 tahun ini, aku ikut tinggal bersama orang tuaku yang mempertaruhkan hidupnya di ibu kota. Hal ini membuatku berada jauh dari kampung halaman. Liburku dan orang tuaku tak sering, hanya beberapa kali. Liburan panjang keluarga hanya di waktu Hari Raya Idul Fitri, itulah waktu yang ku manfaatkan untuk sejenak saja melihat keadaan kampungku, memastikan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Masih menjadi pribadi yang rendah hati dan penuh karya dengan hasil pertanian yang menyadarkan, bahwa aku sedang berada di relung negeri yang ternyata amat kaya raya, Indonesia.

Kampung halamanku berada di bagian tengah Pulau Jawa. Berada paling Timur di wilayahnya. Itulah relung negeri yang menurutku justru membawa banyak potensi terpendam negeri ini. Mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah sebagai petani.  Tak jarang, telapak kaki mereka pecah-pecah karena langkah yang tak pernah lelah untuk semangat menjangkah ke sawah. Tangan keriput yang tak pernah beringsut untuk mengangkut tiap pikul rumput. Namun, senyum mereka tetap merekah untuk sekadar menyambut pulangnya anak-anak mereka dari sekolah. Ditengah sibuknya mereka menggarap sawah, tak pernah ada lelah. Aku hanya mengetahui pribadi mereka yang ikhlas tiap mereka berkumpul di jalan untuk gotong royong membersihkan lingkungan tiap minggunya, atau mengadakan acara tujuh belasan secara sangat sederhana. Pribadi-pribadi yang masih mampu menemani buah hatinya belajar, mengulang pelajaran sekolah, hingga mengantarkan pada mimpi indah menyambut hari esok yang lebih baik. Aku sangat paham bahwa mereka sangat terbatas dalam ilmu pengetahuan, bahkan tak jarang dari mereka tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya. Aku pun paham, bukan kehendak mereka terlahir dalam keadaan terbatas. Ini mungkin hasil zaman dimana zaman tak mampu lagi menggerakkan langkahnya untuk menjamah mereka karena posisinya, di relung negeri. Senyum ikhlas, semangat, dan do’a adalah modal mereka untuk membesarkan mimpi-mimpi anak mereka. Modal itulah yang juga menjadi imbalan prestasi akademik anak-anak mereka dan tak jarang mengantarkan si kecil melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Mereka yang membekali betapa pentingnya pendidikan untuk memperbaiki nasib bangsa diawali memperbaiki nasib diri sendiri hingga tak hanya hidup sebagai sampah negeri, tak hanya mengejar sebuah gelar. Mereka menjadikan anak-anak mereka sebagai generasi berpendidikan yang bermoral dan berkarakter. Anak-anak mereka tumbuh besar dengan keterbatasan, hingga membuat mereka menyadari bahwa tak ada keberhasilan tanpa kerja keras.

Tidak jauh berbeda dengan keseharian mereka yang menggantungkan kelangsungan hidup lewat tanah subur negeri ini. Mereka mampu menyambut hari esok dengan menghargai setiap hasil yang diperoleh dari butiran-butiran tanah basah Indonesia. Makanan yang setiap hari terhidang di meja makan adalah hasil potensi terpendam negeri ini, mulai nasi hingga lauk pauknya. Tidak instan, mereka merasakan setiap proses. Saat makanan mulai dikunyah dan melewati kerongkongan, mereka ingat bagaimana menapakkan kaki di tanah basah untuk menggemburkannya, ingat rasanya tangan ini memilih butir-butir jagung yang akan ditanam, ingat seringnya bersabar di teriknya mentari dalam merawat tanamannya, dan do’a yang tak lupa mereka panjatkan menuju hari panen yang ditunggu. Itulah sebabnya, tak pernah ada makanan yang terbuang percuma dan menjadi hiasan tempat sampah. Di tengah keterbatasan yang menghantui mereka tiap waktu, tak pernah sekalipun ku melihat wajah kusut dengan penuh tuntutan. Tiap harinya, mereka lalui dengan penuh ikhlas dan rasa syukur pada Rabbnya atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan pada tanah negeri ini.

Berbeda dengan pemadangan ibu kota. Soal pendidikan, tak usah diragukan. Sebagian besar penduduknya adalah pemilik gelar pendidikan yang mumpuni hingga mereka mampu menduduki kursi-kursi wakil negeri. Tiap harinya yang penuh dengan kesibukan ibu kota. Membuka mata di pagi hari dengan sejumlah agenda pertemuan relasi, hingga tak sempat rasanya sekadar makan roti untuk menemani buah hati. Apalagi kenal tetangga padahal hanya samping kanan kiri. Hanya sebuah misi diri sendiri yang mereka cari. Mereka pulang saat mentari tak lagi sanggup memancarkan cahaya indahnya. Wajah cukup lelah dengan segala aktivitas ditemani lalu lalang ibu kota yang buat gerah. Modal ilmu pengetahuan yang dimiliki memang tak perlu diragukan, namun mereka lebih percaya kepada tenaga pengajar untuk menemani anak-anak mereka mengerjakan pekerjaan rumahnya dan percaya kepada orang lain untuk mengantarkan tidurnya. Tapi mereka tak lupa menanyakan kabar peringkat di akhir semester. Begitu bangganya mereka ketika mengetahui prestasi si kecil yang meningkat. Begitu mudah jika sepatu atau tas baru yang akan menemani di awal semester baru menjadi imbalannya. Si kecil memang tumbuh dengan fasilitas hidup yang memadai, namun minim dengan fasilitas bimbingan orang tuanya. Hingga mereka tumbuh sebagai yang berpendidikan minim karakter dan moral. Karena menganggap pendidikan hanya sebuah gelar yang harus mereka capai minimal setara dengan orang tuanya.  Lain hal jika tak ada prestasi yang membanggakan bagi mereka. Keadaan tertekan karena nasehat mereka yang memojokkan siap menghantui, bahkan di tidur lelap si kecil. Tak jarang, dengan kondisi seperti ini banyak anak-anak mereka yang memilih nekat berhenti untuk melanjutkan pendidikan. Karena anak-anak mereka hanya menganggap bahwa pendidikan hanya sebuah sarana untuk mengharumkan nama baik orang tua di hadapan relasinya.

Ibu kota memang tempat yang sempurna. Coba saja, di setiap sudutnya akan dapat ditemui segala yang ingin ditemui. Mulai jarum jahit dengan berbagai ukuran hingga jenis makanan seperti apa yang akan mengisi tiap perut penduduknya. Namun ternyata, kondisi seperti ini tetap tak mampu mengurangi rasa keluh mereka soal kurangnya fasilitas yang disediakan negeri ini. Mudahnya mereka mendapatkan segala sesuatu dengan kemampuan finansial yang ada malah membuat mereka jauh dari kata peduli. Lagi-lagi hanya misi membesarkan diri sendiri. Tak jarang pula jika tong sampahnya banyak berisi makanan yang terbuang percuma menandakan bahwa jauh dari kata menghargai. Mungkin inilah alasan lebih dalam, mengapa muncul kalimat bahwa ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Aku merasa sedang tidak berada di negeriku yang katanya ramah penduduknya, yang katanya peduli sesama, atau yang katanya gemah ripah loh jinawi. Perkembangan zaman yang cukup kejam, banyak mempengaruhi pribadi-pribadi tak cinta negeri dan hanya mementingkan diri sendiri.


Kampung halamanku memang jauh dari cepatnya akses internet, penerangan listrikpun baru dirasakan awal tahun millenium. Namun, dengan kondisi seperti inilah ku mampu memahami Indonesia lebih dalam. Dengan kekayaan hati para penduduknya yang sebenarnya merupakan wujud asli bangsa Indonesia. Penduduk yang selalu bekerja keras membesarkan diri dalam misi membangun negeri, minimal menjadi pribadi-pribadi yang peduli. Kekayaan alam melalui hasil pertanian melimpah, yang membuatku selalu tersadar dan bersyukur bahwa ternyata, aku sedang berada di negeri yang amat kaya raya. Relung negeri yang tak banyak wakil negeri menjamahnya, yang justru membuatku makin mencintai tanah negeri, Indonesia.  


-Fiktif-
Allahua'lam bisshowab

Tidak ada komentar: