Tak terasa waktu berlalu,
menyambutmu di tahun ke 16. Bukan waktu yang singkat bertahan di tengah kondisi
ombang-ambingnya ideologi. Hingga detik ini, kau masih tetap tegak berdiri dengan
derasanya hujatan dan rintangan yang tentu berat memilih untuk bertahan.
Tawaran untuk melepas sebuah identitas diri yang menggiurkan, namun tetap
membuatmu independen dan terhindar dari intervensi politik manapun. Hingga raga
semakin tahu bahwa kelahiranmu bukan tanpa suatu alasan.
Belum genap 4 tahun
aku mengenalmu. Ingat ketika kita dipertemukan lewat sarana ‘keterpaksaan’? Ingatkah
ketika kau hadir dengan penampilanmu yang membuatku enggan mendekatimu? Apalagi
ketika kau berbicara banyak hal yang tak ku mengerti tentang rumitnya negeri ini,
sebut sajalah politik. Kehadiranmu yang membuat raga selalu cemas dan tersadar
bahwa aku dan kamu berbeda. Aku yang memilih untuk selalu berada di tempat yang
membuatku nyaman, berkumpul dengan teman-teman dengan topik pembicaraan seputar
kepentingan diri sendiri. Tapi kamu, memilih untuk berada di kondisi yang
selalu mengancam, tertekan, dan tak ketinggalan topik persoalan bangsa ini. Ah,
mana mau aku dekat denganmu!
Aku sadar, bahwa semua
yang hadir dalam tiap episode kehidupan manusia adalah sesuatu yang tak pernah
diduga-duga. Bisa jadi sesuatu yang dahulu dibenci menjadi sesuatu yang
dicintai, begitupun sebaliknya. Aku tak suka kamu, itu dulu. Sebelum aku
benar-benar mengetahuimu lebih dalam. Sarana keterpaksaan, yang berubah menjadi
sebuah kebutuhan untukku. Kau tahu mengapa ku ingin sekali mengetahuimu lebih
dalam? Karena hanya penampilanmu yang membuatku ragu dekat denganmu. Tapi
ternyata, dirimu begitu lembut dan penuh kasih sayang. Aku pun tahu, ini karena
Islam menghiasi setiap tindak tandukmu.
Kamu yang
mengantarkanku pada dunia mahasiswa yang sesungguhnya. Tak hanya berpikir untuk
kepentingan diri, namun berpikir lebih untuk orang lain. Menjadi mahasiswa yang
tak hanya sekadar memikirkan bagaimana cara mendapatkan IP cumlaude, ikut banyak lomba, hingga bagaimana lulus cepat, kemudian
merintis karir, berburu perusahan terbaik dengan gaji besar, membangun
rumahtangga. Jika kehidupan manusia hanya begitu saja alurnya, tentu tak ada
bekas yang ditinggalkan, tak ada yang ingat bahwa raga ini pernah menjadi
bagian dari pengisi kehidupan. Tapi kamu, yang mengantarkanku menjadi manusia
yang bisa lebih dari itu semua. Manusia yang akan meninggalkan jejak-jejak
kebaikan. Menjadi manusia bermanfaat bagi sesama. Tapi bukan hanya itu, ini
adalah sebuah tanggung jawab membesarkan bangsa.
Statusmu sebagai
lembaga eksternal kampus, yang membuat sebagian besar mahasiswa enggan
mendekatimu, begitupun aku dulu. Namun lagi-lagi hal itu karena aku belum
mengenalmu lebih dekat. Justru dengan statusmu sebagai lembaga eksternal, kau
dapat mengeluarkan banyak ekspresi sebagai bentuk kritisasi atas segala tirani.
Menjadi orang yang berpikir dan berkehendak merdeka, bergerak karena pemahaman
tanpa ada paksaan. Kau merdeka, namun tetap Islam sebagai landasannya.
Ini yang paling
penting. Penampilanmu yang selalu membawa embel-embel ‘aksi’, membuatku tambah
takut dekat denganmu. Karena ku anggap, ‘aksi’ turun ke jalan di depan
gedung-gedung pejabat negeri tak pernah aman, rusuh dengan pemberontakan,
teriak-teriak memarah, hingga aksi bakar-bakaran atau menghancurkan fasilitas umum
dan pasti merugikan orang lain. Aku NO AKSI! Lagi-lagi karena raga yang belum
berada dekat denganmu.
Namun, kamu memang beda.
Aksimu ramah, cantik, hingga tujuan tercapai. Aku terheran-heran saat pertama
kali ikut aksi. Dilaksanakan dengan agenda yang tersusun rapi, dari
pembacaan ayat Al Qur’an hingga ditutup dengan do’a. Begitu khusyuk. Tak
jarang, jika para pejabat negeri yang kau sandingi turun, dan keluar menyambut
positif aksimu. Tak pernah aku merasa tak aman seperti dugaanku dulu. Aku
merasakan bahwa masyarakat dekat dan menyambut baik. Satuan keamanaan mana yang
tak kenal dengan aksimu? Mereka pasti mengenal kesantunanmu.
Begitupun dengan aksi
sosialmu yang teragendakan. Mulai pengembangan desa binaan, penggalangan dana
bencana alam, bersih-bersih kampus, hingga pengiriman relawan ke daerah
bencana. Kau begitu dekat dengan masyarakat.
KAMMI, kamu yang
membuatku semakin iri dengan aksi-aksimu. Para kadermu yang senantiasa bergerak
di siang hari, dan selalu membekali ruhani di malam hari. Mereka yang pintar
berdialektika, namun tak diragukan hafalan Al Qur’an. KAMMI bukan berisi para
orang baik, namun mencoba menjadi baik dan menebarkannya. Bukan berisi para
malaikat yang tak memiliki dosa, namun mencoba untuk meminimalisir dosa.
Maklumi saja jika KAMMI masih banyak salah, karena kami hanya manusia biasa.
Aku mengaggumimu

Allahua'lam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar