Lelah!
Rutinitas kehidupan
yang selalu menuntut langkah kaki ini menuju kebaikan kadang muncul deklarasi
pernyataan “saya bosan jadi orang baik.” Pernah demikian? Saya pernah! Mungkin
selama ini saya bersembunyi dalam modus normalitas menjadi manusia biasa
merasakan demikian. Rasa bosan ia hadir semaunya, tanpa diundang. Parahnya, jika
bosan untuk selalu jadi orang baik.
Mungkin, hal ini
muncul karena adanya anggapan bahwa kita telah merasa menjadi orang baik.
Positif memang, rasa semangat dan percaya diri yang selalu ada untuk menjadi
orang baik. Namun, terkadang hal ini membuat kita menutup pintu perbaikan diri.
Nuansa keangkuhan dalam diri membawa pada perasaan keengganan untuk menerima
saran perbaikan dan membiarkan hati menelusur untuk memperbaiki dan memuhasabah
diri dengan sendirinya. Kondisi bosan selalu baik ini juga tidak jarang mengaruskan
diri kearah keburukan, maksiat. Ada rasa dalam diri untuk keluar dari jalur
kebaikan. BAHAYA!
“Kebaikan yang direncanakan saja masih dianggap tidak baik, apalagi merencanakan keburukan.”
Suatu hal yang wajar
jika kebosanan ini muncul. Tidak hanya bosan dengan aktivitas yang menjadi rutinitas.
Bosan menjadi baik pun mungkin saja muncul, menyapa, hinggap, atau hanya sekelebat.
Namun, penyikapan terhadap rasa bosan ini yang menjadi penting. Langkah yang
tepat jika memilih untuk mengambil hal preventif untuk menghindarkan diri dari
kebosanan itu. Ya, salah satunya dengan
bergabung dengan komunitas kebaikan. Adalah benar dan terbukti akan penting dan
berartinya komunitas kebaikan dalam kehidupan ini. Karena diri ini dilihat
darimana ia berada. Lingkungan dan rekan bergaul menjadi cerminan terdekat
setiap individu. Komunitas kebaikan ini yang juga menjadi penguat dan
pengingat, saling menasehati dalam kebaikan menjadi budaya yang terus mengalir
tanpa diminta.
Karena orang baik juga
tidak mungkin seorang diri. Sebutlah, Musa
as. yang bersamanya ada Harun as. Sebut pula Muhammad bin Abdullah yang
bersamanya ada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Karena menjadi orang baik itu
tidak bisa seorang diri. Dibutuhkan partner yang membersamai.
Kondisi kebosanan ini tidak bisa disalahkan
begitu saja jika sudah “terlanjur” hinggap dalam diri. Segera cari obat
penawarnya. Mengingat, menginsafi, dan mengevaluasi idealisme awal diri bisa
jadi awalan yang baik untuk menjadi “pendingin”-nya. Merenungi pengorbanan para
sahabat seperjuangan yang bahkan lebih banyak berbuat baik.
Terus mengupayakan
konsisten dalam kebaikan juga menjadi pondasi yang penting. Jangan sampai
tergodanya diri melakukan keburukan menjadi akhir untuk menyelesaikan episode
kehidupan ini. Mari setir kehidupan ini dengan amal-amal kebaikan, walaupun
tidak jarang harus terpaksa melewati banyak “polisi tidur”, atau bahkan melewati jalan menanjak.
Allahua’lambisshowab
Bercermin di langit berdebu, 051213