Sabtu, 11 April 2015

Rantau 5 : Nilai Kebermanfaatan yang Sering Disepelekan

Memasuki dunia mahasiswa tentu belum cukup jika belum membahas tentang aktivitas mereka yang dekat dengan kata ‘sibuk’. Dunia kampus yang membuat raga yang tak ingin hanya berdiam diri, tawaran aktivitas dari berbagai kelembagaan kampus yang memanggil-manggil untuk disinggahi. Apalagi, semangat para mahasiswa baru yang masih segar dan belum sesak oleh polusi tuntutan kampus yang kian hari semakin menjadi-jadi. 



Pernah gak sih terlintas jika kesibukan kita di dunia kampus membuat kita sedikit berbangga diri? Tentu kesibukan di luar sibuknya tuntutan akademik maksud saya. Merasa keren, pamer sani sini bahwa sedang sibuk mengurusi ini itu. Merasa dirinya lebih dari yang lain karena menganggap dirinya lebih banyak kegiatan, sibuk. Ya, terkadang kesibukan dianggap sesuatu yang pantas untuk dipamerkan. Apalagi di dunia sosial media saat ini. Lucu juga, sibuk kok bangga? Walaupun memang kesibukan lebih yang Allah berikan perlu disyukuri, karena sesungguhnya dengan hadirnya kesibukan dalam kebaikan adalah tanda bahwa Allah tidak ingin hambaNya berada dalam waktu luang yang berpeluang menjauhkan diri pada Allah swt dengan perbuatan-perbuatan maksiat.

Melihat kondisi seperti ini, sedikit bisa menyimpulkan bahwa sesungguhnya kesibukan diri belum tentu berbanding lurus dengan kebermanfaatan diri yang ditimbulkan bagi sekitar kita. Misal, mungkin ada mahasiswa yang setiap hari pergi pukul 6 pagi, pulang pukul 8 malam. Apakah menjamin jika kesibukannya itu bisa lebih membuat dirinya bermanfaat? Belum tentu kan?

Apakah seorang wanita kantoran bisa dikatakan lebih bermanfaat dibanding dengan ibu rumah tangga yang  sepanjang hari hanya berdiam diri di rumah? Apakah dapat dikatakan bahwa ibu rumah tangga lebih bermanfaat dibanding wanita kantoran karena sepanjang hari ia ada di rumah? Belum tentu!

Memang sangat sulit menentukan parameter kebermanfaatan Akumulasi waktu yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu sehingga menjadikannya sebuah kesibukan belum tentu menjamin berkualitasnya waktu yang kita gunakan.

Jadi, mana sebenarnya yang lebih penting? Menjadi manusia dengan status kesibukan yang sangat melekat pada diri kita? Atau menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama? Tentu, menjadi manusia yang bermanfaat lebih utama dan adalah sebaik-baik manusia.

Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah Shallallahualaihiwassalam bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Hal yang sangat dirugikan bahwa, ketika kesibukan kita mengerjakan aktivitas keduniaan dapat melalaikan dan lupa dengan kewajiban kita terhadap Allah swt. Dan pada akhirnya, bukan kesibukanlah yang dapat menentukan kualitas diri kita. Tapi sejauh mana kesibukan-kesibukan itu mampu membuat diri kita lebih bermanfaat bagi orang lain.

Allahua’lam bisshowab





Tidak ada komentar: