Memasuki dunia
mahasiswa tentu belum cukup jika belum membahas tentang aktivitas mereka yang
dekat dengan kata ‘sibuk’. Dunia kampus yang membuat raga yang tak ingin hanya
berdiam diri, tawaran aktivitas dari berbagai kelembagaan kampus yang memanggil-manggil
untuk disinggahi. Apalagi, semangat para mahasiswa baru yang masih segar dan
belum sesak oleh polusi tuntutan kampus yang kian hari semakin menjadi-jadi.
Pernah gak sih
terlintas jika kesibukan kita di dunia kampus membuat kita sedikit berbangga
diri? Tentu kesibukan di luar sibuknya tuntutan akademik maksud saya. Merasa
keren, pamer sani sini bahwa sedang sibuk mengurusi ini itu. Merasa dirinya
lebih dari yang lain karena menganggap dirinya lebih banyak kegiatan, sibuk. Ya,
terkadang kesibukan dianggap sesuatu yang pantas untuk dipamerkan. Apalagi di
dunia sosial media saat ini. Lucu juga, sibuk kok bangga? Walaupun memang
kesibukan lebih yang Allah berikan perlu disyukuri, karena sesungguhnya dengan
hadirnya kesibukan dalam kebaikan adalah tanda bahwa Allah tidak ingin hambaNya
berada dalam waktu luang yang berpeluang menjauhkan diri pada Allah swt dengan
perbuatan-perbuatan maksiat.
Melihat kondisi
seperti ini, sedikit bisa menyimpulkan bahwa sesungguhnya kesibukan diri belum
tentu berbanding lurus dengan kebermanfaatan diri yang ditimbulkan bagi sekitar
kita. Misal, mungkin ada mahasiswa yang setiap hari pergi pukul 6 pagi, pulang
pukul 8 malam. Apakah menjamin jika kesibukannya itu bisa lebih membuat dirinya
bermanfaat? Belum tentu kan?
Apakah seorang
wanita kantoran bisa dikatakan lebih bermanfaat dibanding dengan ibu rumah
tangga yang sepanjang hari hanya berdiam
diri di rumah? Apakah dapat dikatakan bahwa ibu rumah tangga lebih bermanfaat
dibanding wanita kantoran karena sepanjang hari ia ada di rumah? Belum tentu!
Memang sangat sulit
menentukan parameter kebermanfaatan Akumulasi waktu yang digunakan untuk
mengerjakan sesuatu sehingga menjadikannya sebuah kesibukan belum tentu
menjamin berkualitasnya waktu yang kita gunakan.
Jadi, mana sebenarnya
yang lebih penting? Menjadi manusia dengan status kesibukan yang sangat melekat
pada diri kita? Atau menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama? Tentu,
menjadi manusia yang bermanfaat lebih utama dan adalah sebaik-baik manusia.
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah Shallallahualaihiwassalam bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Hal
yang sangat dirugikan bahwa, ketika kesibukan kita mengerjakan aktivitas
keduniaan dapat melalaikan dan lupa dengan kewajiban kita terhadap Allah swt.
Dan pada akhirnya, bukan kesibukanlah yang dapat menentukan kualitas diri kita.
Tapi sejauh mana kesibukan-kesibukan itu mampu membuat diri kita lebih
bermanfaat bagi orang lain.
Allahua’lam
bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar