Sering
banget ngerasa bersalah akibat pengaruh gaya bahasa yang saya gunakan di tengah
– tengah mereka. Kebiasaan yang saya bawa dari rumah ketika berkomunikasi
dengan teman sebaya di kampus, apalagi kalo udah kenal dekat. 'Lu – gue', 'iye –
kagak', dan gaya bahasa lain yang masih sangat membekas, hingga saat ini. Hello
nis, ini di Semarang!
FYI saja, kalo dulu bapak saya mengizinkan dan meridhoi saya
kuliah di Semarang salah satunya dengan alasan ini, “Biar kamu bisa sedikit halus karena
sering bergaul dengan orang – orang Jawa. Lewat bahasanya, kromo, nanti akan
berpengaruh terhadap sikap yang juga akan lemah lembut.” Plak... Plak...
Plak... (seolah anak perempuannya ini ... Ah sudahlah) *glek. Karena bapak tahu bagaimana interaksi saya dengan teman - teman. Cara komunikasi yang bapak anggap kurang baik (maklum, kita berbeda zaman pak).
Oke, ternyata itu gak
mudah! Saya mulai mencoba, sedikit demi sedikit membalas perkataan mereka
dengan Bahasa Jawa. Sesekali memang, tapi apa yang mereka katakan? “Gak pantes
Nis.” (kemudian gue bengong dan pengen lari ke pojokkan kamar). Saya gak
gampang menyerah, hingga saya sering meniru – niru bahasa mereka. Tapi lagi –
lagi, “Gak pantes ih Nis.” dilanjutkan dengan tertawanya mereka (tega). Dan
pada akhirnya, saya memutuskan untuk menjadi diri sendiri dengan gaya bahasa,
logat, dan nada bicara seperti saya! Yeah! Harapannya, hal itu mampu berubah
seiring dengan seringnya saya berinteraksi dengan mereka. Perlahan!
Namun, apa yang
terjadi? Harapan saya musnah. Mereka mulai terindikasi dengan gaya bahasa saya.
Mereka mulai menggunakan ‘lu – gue’ atau ‘iye – kagak’, bahkan semua kata berubah menjadi 'e' di akhir katanya, khususnya berkomunikasi
dengan saya. Saya semakin merasa bersalah.
Begini, saya merasa
aneh ketika mayoritas orang Jawa penghuni Tembalang (sekitar kampus saya) justru mampu
terpengaruh dengan kaum minoritas yang biasa menggunakan bahasa ‘lu – gue’ atau
‘iye – kagak’. Tentu saja, pengaruh ini tidak hanya karena saya seorang. Tapi
juga keberadaan mereka disini yang satu spesies dengan saya. Saya merasa
bersalah ketika mereka menjalin komunikasi dengan saya. Saya merasa telah
menjadi salah satu penyebab mundurnya mereka dalam hal gaya bahasa. Dari bahasa
yang bisa dibilang lebih lembut menuju ke bahasa yang menurut saya agak
semrawut. Mereka yang sesungguhnya ingin lebih terlihat gaul dengan bahasa
seperti itu (mungkin) atau saya yang cenderung menjadi syaitan bagi mereka.
Tolong, bantu saya
menyelesaikan misi ini kawan – kawan. Untuk menggunakan Bahasa Jawa yang baik
dan benar, hingga membuat pribadi saya menjadi lebih baik, lebih lemah lembut! Dan
saya bisa bilang ke bapak, “Pak aku sudah berubah! Yeah!”
Maaf atas tulian saya
yang agak melenceng ini.
Berdosa, 150514
Tidak ada komentar:
Posting Komentar