Kamis, 15 Mei 2014

Rantau 4 : BAHASA

Sering banget ngerasa bersalah akibat pengaruh gaya bahasa yang saya gunakan di tengah – tengah mereka. Kebiasaan yang saya bawa dari rumah ketika berkomunikasi dengan teman sebaya di kampus, apalagi kalo udah kenal dekat. 'Lu – gue', 'iye – kagak', dan gaya bahasa lain yang masih sangat membekas, hingga saat ini. Hello nis, ini di Semarang!

FYI saja, kalo dulu bapak saya mengizinkan dan meridhoi saya kuliah di Semarang salah satunya dengan alasan ini, “Biar kamu bisa sedikit halus karena sering bergaul dengan orang – orang Jawa. Lewat bahasanya, kromo, nanti akan berpengaruh terhadap sikap yang juga akan lemah lembut.” Plak... Plak... Plak... (seolah anak perempuannya ini ... Ah sudahlah) *glek. Karena bapak tahu bagaimana interaksi saya dengan teman - teman. Cara komunikasi yang bapak anggap kurang baik (maklum, kita berbeda zaman pak).

Oke, ternyata itu gak mudah! Saya mulai mencoba, sedikit demi sedikit membalas perkataan mereka dengan Bahasa Jawa. Sesekali memang, tapi apa yang mereka katakan? “Gak pantes Nis.” (kemudian gue bengong dan pengen lari ke pojokkan kamar). Saya gak gampang menyerah, hingga saya sering meniru – niru bahasa mereka. Tapi lagi – lagi, “Gak pantes ih Nis.” dilanjutkan dengan tertawanya mereka (tega). Dan pada akhirnya, saya memutuskan untuk menjadi diri sendiri dengan gaya bahasa, logat, dan nada bicara seperti saya! Yeah! Harapannya, hal itu mampu berubah seiring dengan seringnya saya berinteraksi dengan mereka. Perlahan!

Namun, apa yang terjadi? Harapan saya musnah. Mereka mulai terindikasi dengan gaya bahasa saya. Mereka mulai menggunakan ‘lu – gue’ atau ‘iye – kagak’, bahkan semua kata berubah menjadi 'e' di akhir katanya, khususnya berkomunikasi dengan saya. Saya semakin merasa bersalah.

Begini, saya merasa aneh ketika mayoritas orang Jawa penghuni Tembalang (sekitar kampus saya) justru mampu terpengaruh dengan kaum minoritas yang biasa menggunakan bahasa ‘lu – gue’ atau ‘iye – kagak’. Tentu saja, pengaruh ini tidak hanya karena saya seorang. Tapi juga keberadaan mereka disini yang satu spesies dengan saya. Saya merasa bersalah ketika mereka menjalin komunikasi dengan saya. Saya merasa telah menjadi salah satu penyebab mundurnya mereka dalam hal gaya bahasa. Dari bahasa yang bisa dibilang lebih lembut menuju ke bahasa yang menurut saya agak semrawut. Mereka yang sesungguhnya ingin lebih terlihat gaul dengan bahasa seperti itu (mungkin) atau saya yang cenderung menjadi syaitan bagi mereka.

Tolong, bantu saya menyelesaikan misi ini kawan – kawan. Untuk menggunakan Bahasa Jawa yang baik dan benar, hingga membuat pribadi saya menjadi lebih baik, lebih lemah lembut! Dan saya bisa bilang ke bapak, “Pak aku sudah berubah! Yeah!”

Maaf atas tulian saya yang agak melenceng ini.
Berdosa, 150514

Tidak ada komentar: