Aku rindu zaman
ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman
ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman
ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman
ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman
ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
bukan su'udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman
ketika kita semua memberikan segalanya untuk da'wah ini
Aku rindu zaman
ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman
ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan,
dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman
ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman
ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta
sepulang tabligh dawah di desa sebelah
Aku rindu zaman
ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur'an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman
ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman
ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman
ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman
ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,
Aku rindu...
Ya ALLAH,
Jangan Kau buang kenikmatan berda'wah dari hati-hati kami
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama
[Rahmat Abdullah]
Puisi ini akan selalu mengingatkan untuk bagaimana menyikapi semua ini, bukan bertanya-tanya mengapa seperti ini.
Rindu dengan ghiroh yang dulu.
:D