Akhir-akhir ini banyak yang bertanya-tanya mengapa
saya jarang ‘muncul’ di kampus, bertemu dengan teman-teman (internal). Mereka
menyatakan bahwa saya telah ‘pindah haluan’. Entah apa maksudnya (???). Intensitas
datang dan bertemu dengan mereka (internal) jauh dari tahun sebelumnya. Tidak
jarang sindiran itu terucap dengan frontalnya, “Udah berapa tahun gak ke ***?.”
Padahal, minimal saya datang setiap minggu untuk
datang piket jaga sekre (sepertinya gak pernah
absen).
Dalam sebuah organisasi, eksistensi pertemuan anggota
maupun pengurus adalah sebuah keniscayaan. Entah itu untuk merumuskan suatu
kebijakan, atau hanya sekadar pertemuan santai untuk mempererat ikatan hati
antarindividu pengurusnya.
Kahadiran, merupakan bentuk kerja yang nampak wujudnya.
Kehadiran seorang individu dalam agenda-agenda sebuah organisasi adalah bentuk
konkret dari peran aktifnya disana. Namun, jika disandingkan dengan kontribusi
sebagai realisasi dari eksistensi kehadiran, bagaimana kedudukannya?
Kahadiran merupakan salah satu bentuk kontribusi.
Kehadiran sering menjadi parameter besar kecilnya kontribusi dalam sebuah
organisasi. Dan tidak dipungkiri memang ketika kehadiran menjadi penanda
kesungguhan seorang individu dalam sebuah organisasi.
Akan tetapi, apakah semua kehadiran berujung pada
kontribusi? Dan apakah kontribusi harus ditunjukkan dengan kehadiran?
Ini bukanlah tulisan berupa excuse untuk melegalkan ketidakhadiran individu dalam agenda-agenda
organisasi da’wahnya, bukan pula hujatan bagi pihak tertentu yang minim
kontribusi. Ini hanya sebuah refleksi, untuk diri-diri yang telah menisbatkan
hidup dalam da’wah, dalam jama’ah.
Ikrar itu, syahadat yang telah diserukan dalam setiap
helaan nafas, dan segenap aliran darah. Maka itu adalah janji manusia terhadap
Rabbnya untuk senantiasa berorientasi pada da’wah Islam. Janji ini membutuhkan
dan menuntut totalitas dan komitmen. Maka, setelah janji itu terucap secara
sadar, konsekuensi dari-Nya harus siap direalisasikan. Insya Allah, kontribusi
ini lebih dari sekadar hadir dalam pertemuan rutin, lebih dari sekadar menerima
tugas dan amanah.
Kontribusi adalah sebuah kepastian. Usaha untuk
mengoptimalkannya-pun demikian. Namun, kecerdasan dalam kontribusilah saat ini
yang menjadi penentu. Kontribusi dapat berwujud apapun yang terbaik sesuai
dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Kehadiran hanya
menjadi salah satunya. Namun bukan satu-satunya.
Kontribusi tidak melulu
ditunjukkan dengan kehadiran. Lebih dari itu, kesadaran untuk tetap
berkontribusi meski tidak dengan menghadirkan raga di dalamnya tetap harus di
optimalkan.
Allahua’lam bisshowab