Minggu, 10 November 2013

Makin Paham, Makin Patuh

“Hidup harus siap dipimpin!”
Menyebrang lautan menuju sebuah pulau dengan kapal, pasti butuh nahkoda.
Menembus awan menuju negeri sebrang dengan pesawat, pasti butuh pilot.
Melewati rel panjang dari stasiun ke stasiun dengan kereta api, pasti butuh masinis.

Begitupun mengarungi perjalanan panjang sebuah lembaga mahasiswa, pasti butuh ‘supir’. Ia yang mengantarkan pada tujuan utama sebuah lembaga. Ibarat kepala bagi tubuh. Pemimpin yang berada dalam barisan paling depan. Ia berdiri sebagai lambang kekuatan dan persatuan lembaga yang dipimpinnya.

Sampai saat ini, sudah lebih dari satu lembaga yang saya gandrungi. Berinteraksi dengan banyak karakter pemimpin. Karakter – karakter yang membuat saya belajar untuk sabar menghadapi karakter beraneka ragam itu. Asal sampai tujuan, apapun caranya, bagaimanapun gayanya, bagi saya sebenarnya tak masalah. Namun ada satu hal yang mungkin jadi titik kekesalan mereka menghadapi karakter saya yang tidak langsung sami’na wa atho’na (dengar lalu taat), sering bantah, mengusulkan solusi yang saya anggap lebih baik, kadang mengeluh dan sering bertanya “kenapa saya lagi? Gak ada yang lain?”, sering sms menuntut professionalitas, dan lain sebagainya yang membuat mereka ingin segera menjauh dari kicauan saya, haha. Ya, mungkin banyak faktor lingkungan yang membuat saya bersikap seperti itu, lingkungan konspirasi. Itu dulu.

Mungkin, inilah salah satu faktor penyebab gagalnya sebuah lembaga. Tidak patuhnya prajurit pada panglimanya, merasa lebih baik dari pemimpin, diperintah justru balik memerintah. Visi dan misi yang diusung diawal kepengurusan kacau tak berhasil. 

Seiring berjalannya waktu, banyak pembelajaran yang saya dapat, dari guru – guru ngaji saya tentang kepemimpinan, dan dari pengalaman yang terjadi dalam lembaga itu sendiri, dan pengalaman – pengalaman inilah yang membuat saya lebih sadar bahwa pemimpin memang memiliki tempat untuk dihormati. Harus! Kenapa? Ibarat sebuah pasukan perang, seorang panglima (pemimpin) berada di garda depan. Siap menghadapi apapun yang terjadi, siap ditembak, siap dihantam, ditendang, bahkan harus siap dimusnahkan lawan pertama kali. Sedangkan kita? Berada aman, dilindungi, berada di barisan kedua, ketiga, bahkan terakhir. Sama halnya dalam lembaga mahasiswa, seorang pemimpin berada di garis depan sebuah lembaga. Pemimpin, seperti perwajahan lembaga yang dipimpinnya. Jika lembaganya dianggap kurang baik maka lihatlah pemimpinnya, begitupun jika lembaga tersebut dianggap baik, maka lihatlah pemimpinya. Terlebih, jika ada teguran dari birokrasi kampus terkait keberjalanan lembaga, pemimpinlah yang pertama kali dipanggil, ditegur, bahkan mungkin jadi pelampiasan kemarahan mereka. Wajar, ketika seorang pemimpin seolah – olah hanya bisa memerintah. Namun dibalik itu semua, mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari kita seorang prajurit yang hanya bisa berlindung di belakangnya. Tugas prajurit di belakangnyalah yang melengkapi peran seorang pemimpin.
"Jangan anggap dirimu telah banyak berbuat sesuatu. Padahal yang kau lakukanpun hanya itu - itu saja"

Bagaimanapun karakter pemimpinmu, hormati dia dengan pemahaman. Bukan tidak boleh memberikan usulan, tapi sampaikan saja dengan cara yang baik. Tak kalah pentingnya, selalu berprasangaka baik kepadanya. Karena banyak hal yang menjadi beban pikirannya. 

Nah, buat pemimpin. Jangan samapai menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan padamu. 


Allahua'lam bisshowab

Permintaan maaf.
Lagi insaf, 10 November 2013 11pm