Berawal dari niat yang tiba – tiba
saja muncul, tanpa rencana. Siang ini, melihat dua berkas dalam amplop
tergeletak begitu saja di Ruang BEM dengan alamat perguruan tinggi yang masih
berlokasi di Semarang, daerah Dr. Cipto dan Terboyo Kulon (perbatasan Semarang
– Demak).
Rasanya, ingin saja langsung pergi
meninggalkan Tembalang menuju dua lokasi tersebut. Dua amplop itu langsung
saya bawa menuju masjid, “Pasti ada jalan” gumam saya. Sebenarnya, bingung juga
karena belum dapat pinjaman kendaraan dan orang yang rela waktunya saya pinjam
(pakai lebih tepatnya) untuk menemani saya, plus jadi track guide karena saya memang belum tuhu persis dua lokasi
tersebut. Saya bertanya kepada beberapa mbak yang ada di masjid terkait dua
lokasi itu. Yah, lumayan paham dengan penjelasan mereka.
“Emang mau kesana sama siapa nur?”,
Tanya salah satu mbak.
“Hahaha, belum tahu nih mbak. Mbak ada
agenda siang ini?”, jawab saya.
“Ini mau masuk kelas jam 1.”
“Berarti sampai sore di kampus?”
“He em,” jawab si mbak sambil
mengangguk
“Kalo aku pinjem motornya bisa gak?”
“Yaudah bawa aja, parkirnya di depan
lab. Biologi,” jawab si mbak sambil memberikan kunci motornya.
“STNKnya mbak?”
“Ada di mbak *****, belum
dikembaliin.”
“Oh, yaudah.” tukasku dan langsung
menerima kunci. Tanpa pikir panjang bahwa STNK adalah benda sensitif ketika
sedang berkendara. Mungkin hal ini sudah terlalu biasa. Ya, terbiasa untuk
melalang buana tanpa kertas yang dapat dilipat tiga hingga bisa diselipkan
dalam dompet itu. Selesai pinjam motor, alhamdulillah dapat orang (bukan BEM) juga untuk
saya pakai waktunya menemani saya, plus jadi track guide menuju dua lokasi hari ini.
13.30 , ekspedisi kami mulai (lebay)
Dengan penampilan lengkap (helm,
jaket, sarung tangan) saya langsung mengatur jalannya si motor biru hitam menyusuri
Sigar Bencah dengan percaya diri tinggi. Tujuan pertama adalah perguruan tinggi
di daerah Dr. Cipto. Selalu menyimak apa yang dikatakan teman saya yang
berusaha menjadi track guide yang
baik. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kami sampai di lokasi pertama,
daerah Dr. Cipto. Tanpa basa basi kami langsung menemui teman – teman BEM
disana. Hanya 3 – 5 air yang kami teguk, kami langsung melanjutkan ekspedisi
liar kami siang itu. Menuju Terboyo Kulon (perbatasan Semarang – Demak).
Tetap dalam panduan dari sang track guide, menyusuri daerah Stasiun
Tawang. Siang yang terik, ditemani dengan mentari yang enggan pergi
meninggalkan kami. Rasanya, begitu hangat. Hangat sekali, kami sangat
menikmatinya. Merasakan setiap tetes peluh yang membasahi, hingga kami belok
kiri di perempatan jalan daerah Tawang.
Jeng.. Jeng..

“Dek, SIM dan STNK,”
“Maksudnya pak?” tanya saya polos.
“Iya, mana SIM dan STNK kamu?” pinta
si bapak.
“Oke pak sebentar,”
Saya mendekati teman saya dan
berbisik,
“Ini yang kata orang tilang gitu gak
sih ra?”
“Ha? NIS, INI RAZIA!!! Kemana aja???”
Jawabnya kesal.
“Ha? Serius? Gak bawa STNK bro.”
“Waduh, STNK gak di bawa???”
“Enggak.” Geleng – geleng sambil
senyum senang.
Senang? Mungkin aneh ya. Tapi sungguh,
salah satu alasan kenapa saya menggubris si bapak untuk menepi. Sudah agak
sadar sebenarnya bahwa kami sedang dalam kondisi RAZIA. Tapi, ingin saja saya
menambah pengalaman dan wawasan bagaimana mengatasi kondisi seperti ini. Ini
alibi karena memang kami tidak bisa berpaling dari kondisi ini, haha.
"Cerdas! Razia tepat di tikungan sehingga kami tidak bisa putar balik"
Alhasil, SIM saya ditahan.
“Urus dengan bapak yang di dalam mobil
ya,” jelas si bapak.
Akhirnya, kami foto – foto dulu. Ini
harus jadi peristiwa pertama dan terakhir kalinya dalam hidup saya. So, perlu
di dokumentasikan. Yuk, menuju si bapak dalam mobil.
“Waduh, rame bener nih.”
“Udah nis cepet, kamu yang ngomong!”
“Ngomong apa? Apa yang harus kita
lakukan? Ini baru pertama kali,” kemudian panik.
Akhirnya saya memtuskan untuk
menghubungi mbak yang punya motor ini. Tidaaak!
nomor
yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar area
Oke, hubungi yang lain. Tetap tidak
ada jawaban.
Tambah panik.
Seketika telepon genggam saya bordering.
(bukan dari si mbak pemilik motor)
“Nur, kenapa? Afwan, teleponmu dari
tadi gak ketahuan mulu.”
“Mbak, aku ditilang.”
“Haha, kok bisa? Sekarang dimana?”
Kenapa
pada ketawa? Terdengar beberapa dari mereka mentertawai kami, pffft.
“Daerah Tawang. Terus aku harus gimana
nih?”
“Yaudah, cari jalan lain. Tanya orang
disana.”
“Jalan kemana?” bingung
“Ke UNDIP lah, mau pulang kan?”
“Bukan, mau nyebar undangan ke Terboyo
Kulon.” Hadeh, nih mbak kenapa gak
nyambung.
“Oh, yaudah. Tanya Terboyo Kulon kalo
gitu.”
“HAAAAA??? Yaudah, assalamu’alaikum.” jawabku
kesal sambil memutuskan telepon genggam dengannya.
Kami makin panik, sambil menunggu
antrian untuk berbicara dengan si bapak yang berada dalam mobil. “All is
Well!!!” *tetep foto – foto
“Hanya Rp 50.000 aja mbak.”
Saya bingung, kenapa si ibu seperti
memberikan tips gratis. Tiba – tiba ada ibu (lain) yang agak menggeser posisi
saya berdiri.
“Misi mbak.” *jepret
Si ibu men – jepret kegiatan si bapak yang berada dalam mobil. Si bapak – pun menyadari
apa yang dilakukan si ibu. Si ibu berlari kecil menuju mobilnya yang di parkir
di seberang jalan arah berlawanan dengan lokasi razia. Si bapak seperti panik
bukan kepalang lalu berteriak memberikan kode kepada teman – temannya di luar.
“Foto woy… FOTO!!!”

Saya tetap dalam posisi antre menunggu
berbicara dengan si bapak. Oya, di mobil ini ada dua orang bapak yang bertugas.
Si bapak dalam mobil, dan si bapak di luar mobil. Tiba – tiba si bapak dalam
mobil menyadari kehadiran seorang bapak yang juga menjadi “mangsa” dalam razia
ini. Namun, apa yang terjadi? Si bapak dalam mobil keluar dan menyalami bapak
yang baru datang itu. Seakan tumbuh kode diantara bapak dalam dan luar mobil.
Seketika pula, bapak yang datangnya jauh lebih terakhir dari saya diizinkan
pulang. Adil gak sih? Hal ini membuat saya penasaran.

“Ngeyeel! Dibilang ngeyeel!!”
Si ibu masih dalam usahanya memberhentikan
taksi.
Saya tidak bisa bercerita banyak
tentang apa yang saya lihat saat itu. Saya hanya melihat si bapak berteriak
tepat di dekat wajah si ibu. Terlihat bahwa si bapak ketakutan dengan mengancam
si ibu. Eh, tiba – tiba si ibu menyebrang mendekati mobil yang saya tunggu
antriannya, kemudian mengatakan
“Jangan pada mau mas, mbak. Kita kan
warga yang baik. Jangan takut.” Jelas si ibu seakan berbicara pada kami yang
sedang mengantri.
Akhirnya, antrian saya sudah habis dan
berbicara langsung dengan si bapak dalam mobil.
“Anisa Nurina pak.”
“STNKnya mana?”
“Ada di Tembalang pak, di teman saya.”
“Bisa sidang tanggal 4?”
“Sidang apa pak? 4 Oktober? Kalo
dimajuin tanggalnya kemungkinan bisa pak.”
“Rp 80.000 cepet.”
“Maksudnya pak?”
“Ya kalo gak bisa sidang Rp 80.000,
cepet.”
“Sekarang pak?” sambil mikir isi dompet. Ada sih nominal segitu, tapi…
“Yah pak, mahal banget. Saya mahasiswa
pak. Gak ada kalo segitu.”
“Yowis, Rp *** cepet.” Pinta bapak
agak maksa, sambil melihat kondisi terkini di seberang jalan sana.
Dan saya merogoh dompet, dengan
gerakan slow motion. Sambil
bertanya,
“Pak, tadi bapak – bapak yang baru
datang kenapa bisa cepat pergi ya pak? Itu loh pak, yang tadi bapak salaman
dengan beliau. Kenapa kalo saya harus antre panjang sekali pak?”
“Cepet… Cepet…” jawab si bapak tambah
kesal.
Dengan reflek-lah saya memberikan
kertas yang mampu menghidupi saya untuk beberapa hari ke depan sebagai perantau. SIM
dikembalikan oleh si bapak. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan, meninggalkan
si ibu dengan si bapak yang tidak bisa saya prediksi sampai kapan akan
berakhir. Melanjutkan perjalanan hingga Terboyo Kulon (tetep nekat) dan pulang dengan
selamat.
Sore ini, Allah telah menunjukkan
banyak hal kepada saya khususnya. Peristiwa demi peristiwa dalam satu waktu.
Tentang … MORAL. Ketika mereka yang di amanahkan untuk melindungi dan melayani
kami sebagai warga negara yang berhak dilingdungi pun dilayani, mencoreng
amanah mulia itu.
Pertama, mungkin saya agak polos
tentang kenapa si ibu rela turun dari mobilnya dan menyeberang jalan hanya
untuk mengambil gambar suatu kegiatan yang dilakukan si bapak. Tapi, saya
melihat sebagai orang awam, perilaku kasar si bapak terhadap si ibu.
Membentaknya, seakan “melindungi” hanya kata cantik untuk memperindah mobil
dinasnya. Begitukah perilaku mereka memberi perlindungan kepada kami yang
berhak untuk dilindungi???
Kedua, tentang bapak yang datangnya
jauh lebih akhir daripada saya. Mendapat sambutan indah oleh si bapak dalam
mobil yang awalnya sedang sibuk melayani "mangsa" yang lain. Si bapak rela keluar dari
dalam mobil hanya untuk bersalaman dengan bapak “mangsa” itu, dan
mempersilahkannya untuk pergi tanpa proses panjang seperti kami. Begitukah
perilaku mereka memberi pelayanan yang baik untuk kami yang sudah menunggu hampir
30 menit???
Ketiga, saya memang mahasiswa. Yang
kata orang banyak menuntut. Menuntut perubahan, tentang kemajuan, kesejahteraan
bangsa, dan lain sebagainya. Tapi saya sadar, hari ini saya benar – benar salah.
Tidak patuh dengan peraturan yang ada. Insya Allah, ini adalah yang pertama dan
yang terakhir kalinya. Namun jujur, saya memang belum benar - benar paham
terkait pelanggaran hukum yang saya lakukan. Masalahnya, si bapak tidak
menjelaskan (mungkin belum sempat) bagaimana tata cara yang benar menyelesaikan
masalah seperti ini. Mekanismenya seperti apa (?). Bukan langsung menodong saya
dengan nominal jumlah uang yang harus dibayarkan, seperti preman pasar. Jika
saya tahu mekanismenya pasti saya juga akan langsung membayarkan nominal jumlah
uang yang disebutkan. Karena motor itu bukan milik saya, takut mendzolimi jika
harus satu bulan menunggu, haha *kabur
PENGALAMAN ADALAH GURU PALING BERHARGA
Ini bukan pernyataan kelaziman saya
karena telah melakukan kesalahan, tapi ini pembenaran (sama aja dong ya).
Mungkin, jika saya tidak pernah
mengalami peristiwa ini, saya tidak kapok melalang buana tanpa surat
– surat lengkap.
Mungkin juga, jika saya tidak pernah
mengalami peristiwa ini, saya tidak bisa menulis dan berbagi dengan kalian atas bobroknya moral bangsa ini, termasuk saya.
Kapok gak lagi - lagi. 130913