Sabtu, 14 September 2013

TILANG MORAL

Berawal dari niat yang tiba – tiba saja muncul, tanpa rencana. Siang ini, melihat dua berkas dalam amplop tergeletak begitu saja di Ruang BEM dengan alamat perguruan tinggi yang masih berlokasi di Semarang, daerah Dr. Cipto dan Terboyo Kulon (perbatasan Semarang – Demak). 


Rasanya, ingin saja langsung pergi meninggalkan Tembalang menuju dua lokasi tersebut. Dua amplop itu langsung saya bawa menuju masjid, “Pasti ada jalan” gumam saya. Sebenarnya, bingung juga karena belum dapat pinjaman kendaraan dan orang yang rela waktunya saya pinjam (pakai lebih tepatnya) untuk menemani saya, plus jadi track guide karena saya memang belum tuhu persis dua lokasi tersebut. Saya bertanya kepada beberapa mbak yang ada di masjid terkait dua lokasi itu. Yah, lumayan paham dengan penjelasan mereka.
“Emang mau kesana sama siapa nur?”, Tanya salah satu mbak.
“Hahaha, belum tahu nih mbak. Mbak ada agenda siang ini?”, jawab saya.
“Ini mau masuk kelas jam 1.”
“Berarti sampai sore di kampus?”
“He em,” jawab si mbak sambil mengangguk
“Kalo aku pinjem motornya bisa gak?”
“Yaudah bawa aja, parkirnya di depan lab. Biologi,” jawab si mbak sambil memberikan kunci motornya.
“STNKnya mbak?”
“Ada di mbak *****, belum dikembaliin.”
“Oh, yaudah.” tukasku dan langsung menerima kunci. Tanpa pikir panjang bahwa STNK adalah benda sensitif ketika sedang berkendara. Mungkin hal ini sudah terlalu biasa. Ya, terbiasa untuk melalang buana tanpa kertas yang dapat dilipat tiga hingga bisa diselipkan dalam dompet itu. Selesai pinjam motor, alhamdulillah dapat orang (bukan BEM) juga untuk saya pakai waktunya menemani saya, plus jadi track guide menuju dua lokasi hari ini.

13.30 , ekspedisi kami mulai (lebay)
Dengan penampilan lengkap (helm, jaket, sarung tangan) saya langsung mengatur jalannya si motor biru hitam menyusuri Sigar Bencah dengan percaya diri tinggi. Tujuan pertama adalah perguruan tinggi di daerah Dr. Cipto. Selalu menyimak apa yang dikatakan teman saya yang berusaha menjadi track guide yang baik. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kami sampai di lokasi pertama, daerah Dr. Cipto. Tanpa basa basi kami langsung menemui teman – teman BEM disana. Hanya 3 – 5 air yang kami teguk, kami langsung melanjutkan ekspedisi liar kami siang itu. Menuju Terboyo Kulon (perbatasan Semarang – Demak).

Tetap dalam panduan dari sang track guide, menyusuri daerah Stasiun Tawang. Siang yang terik, ditemani dengan mentari yang enggan pergi meninggalkan kami. Rasanya, begitu hangat. Hangat sekali, kami sangat menikmatinya. Merasakan setiap tetes peluh yang membasahi, hingga kami belok kiri  di perempatan jalan daerah Tawang.
Jeng.. Jeng..


Begitu ramai, peluit saling sahut. Seorang bapak ber-rompi hijau menyala dan ber-helm menyuruh kami menepi. Sepertinya ada yang tidak beres. Ingin rasnya saya untuk terus melaju, menerobos, dan tidak menggubris perintah bapak itu. Mungkin, ini takdir. Atau karena rasa penasaran saya apa yang akan dilakukan oleh si bapak dengan kami. Ah, mungkin si bapak hanya ingin lebih dekat dengan kami, mahasiswa.
“Dek, SIM dan STNK,”
“Maksudnya pak?” tanya saya polos.
“Iya, mana SIM dan STNK kamu?” pinta si bapak.
“Oke pak sebentar,”
Saya mendekati teman saya dan berbisik,
“Ini yang kata orang tilang gitu gak sih ra?”
“Ha? NIS, INI RAZIA!!! Kemana aja???” Jawabnya kesal.
“Ha? Serius? Gak bawa STNK bro.”
“Waduh, STNK gak di bawa???”
“Enggak.” Geleng – geleng sambil senyum senang.
Senang? Mungkin aneh ya. Tapi sungguh, salah satu alasan kenapa saya menggubris si bapak untuk menepi. Sudah agak sadar sebenarnya bahwa kami sedang dalam kondisi RAZIA. Tapi, ingin saja saya menambah pengalaman dan wawasan bagaimana mengatasi kondisi seperti ini. Ini alibi karena memang kami tidak bisa berpaling dari kondisi ini, haha.
"Cerdas! Razia tepat di tikungan sehingga kami tidak bisa putar balik"
Alhasil, SIM saya ditahan.
“Urus dengan bapak yang di dalam mobil ya,” jelas si bapak.

Akhirnya, kami foto – foto dulu. Ini harus jadi peristiwa pertama dan terakhir kalinya dalam hidup saya. So, perlu di dokumentasikan. Yuk, menuju si bapak dalam mobil.
“Waduh, rame bener nih.”
“Udah nis cepet, kamu yang ngomong!”
“Ngomong apa? Apa yang harus kita lakukan? Ini baru pertama kali,” kemudian panik.
Akhirnya saya memtuskan untuk menghubungi mbak yang punya motor ini. Tidaaak!
nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar area
Oke, hubungi yang lain. Tetap tidak ada jawaban.
Tambah panik.

Seketika telepon genggam saya bordering. (bukan dari si mbak pemilik motor)
“Nur, kenapa? Afwan, teleponmu dari tadi gak ketahuan mulu.”
“Mbak, aku ditilang.”
“Haha, kok bisa? Sekarang dimana?”
Kenapa pada ketawa? Terdengar beberapa dari mereka mentertawai kami, pffft.
“Daerah Tawang. Terus aku harus gimana nih?”
“Yaudah, cari jalan lain. Tanya orang disana.”
“Jalan kemana?” bingung
“Ke UNDIP lah, mau pulang kan?”
“Bukan, mau nyebar undangan ke Terboyo Kulon.” Hadeh, nih mbak kenapa gak nyambung.
“Oh, yaudah. Tanya Terboyo Kulon kalo gitu.”
“HAAAAA??? Yaudah, assalamu’alaikum.” jawabku kesal sambil memutuskan telepon genggam dengannya.

Kami makin panik, sambil menunggu antrian untuk berbicara dengan si bapak yang berada dalam mobil. “All is Well!!!” *tetep foto – foto

“Hanya Rp 50.000 aja mbak.”
Saya bingung, kenapa si ibu seperti memberikan tips gratis. Tiba – tiba ada ibu (lain) yang agak menggeser posisi saya berdiri.
“Misi mbak.” *jepret
Si ibu men – jepret kegiatan si bapak yang berada dalam mobil. Si bapak – pun menyadari apa yang dilakukan si ibu. Si ibu berlari kecil menuju mobilnya yang di parkir di seberang jalan arah berlawanan dengan lokasi razia. Si bapak seperti panik bukan kepalang lalu berteriak memberikan kode kepada teman – temannya di luar.
“Foto woy… FOTO!!!”

Teman – temannya seakan menerima kode dari si bapak dan mengejar si ibu menuju mobilnya. Entah apa yang dibicarakan disana, karena jarak saya cukup jauh dengan mereka. Cukup rumit sepertinya. Saya langsung sadar bahwa saya juga melakukan hal yang sama dengan si ibu. Bersyukurnya, si bapak tidak sadar dengan apa yang saya lakukan. Tidak bisa terbayangkan jika saya juga tertangkap basah melakukan hal yang sama.

Saya tetap dalam posisi antre menunggu berbicara dengan si bapak. Oya, di mobil ini ada dua orang bapak yang bertugas. Si bapak dalam mobil, dan si bapak di luar mobil. Tiba – tiba si bapak dalam mobil menyadari kehadiran seorang bapak yang juga menjadi “mangsa” dalam razia ini. Namun, apa yang terjadi? Si bapak dalam mobil keluar dan menyalami bapak yang baru datang itu. Seakan tumbuh kode diantara bapak dalam dan luar mobil. Seketika pula, bapak yang datangnya jauh lebih terakhir dari saya diizinkan pulang. Adil gak sih? Hal ini membuat saya penasaran.

Antrian saya makin dekat dan masih dalam posisi dapat melihat keadaan si ibu di seberang jalan sana. Bapak – bapak seperti sedang menggeledah mobil si ibu. Seluruh penumpang yang ada dalam mobil si ibu diminta keluar, kelihatannya anak si ibu dan beberapa kerabat. Si ibu berusaha memberhentikan taksi, tapi tidak ada yang mau berhenti. Entah kenapa (?) Saya makin bingung. Si bapak berteriak,
“Ngeyeel! Dibilang ngeyeel!!”
Si ibu masih dalam usahanya memberhentikan taksi.
Saya tidak bisa bercerita banyak tentang apa yang saya lihat saat itu. Saya hanya melihat si bapak berteriak tepat di dekat wajah si ibu. Terlihat bahwa si bapak ketakutan dengan mengancam si ibu. Eh, tiba – tiba si ibu menyebrang mendekati mobil yang saya tunggu antriannya, kemudian mengatakan
“Jangan pada mau mas, mbak. Kita kan warga yang baik. Jangan takut.” Jelas si ibu seakan berbicara pada kami yang sedang mengantri.

Akhirnya, antrian saya sudah habis dan berbicara langsung dengan si bapak dalam mobil.
“Anisa Nurina pak.”
“STNKnya mana?”
“Ada di Tembalang pak, di teman saya.”
“Bisa sidang tanggal 4?”
“Sidang apa pak? 4 Oktober? Kalo dimajuin tanggalnya kemungkinan bisa pak.”
“Rp 80.000 cepet.”
“Maksudnya pak?”
“Ya kalo gak bisa sidang Rp 80.000, cepet.”
“Sekarang pak?” sambil mikir isi dompet. Ada sih nominal segitu, tapi…
“Yah pak, mahal banget. Saya mahasiswa pak. Gak ada kalo segitu.”
“Yowis, Rp *** cepet.” Pinta bapak agak maksa, sambil melihat kondisi terkini di seberang jalan sana.
Dan saya merogoh dompet, dengan gerakan slow motion. Sambil bertanya,
“Pak, tadi bapak – bapak yang baru datang kenapa bisa cepat pergi ya pak? Itu loh pak, yang tadi bapak salaman dengan beliau. Kenapa kalo saya harus antre panjang sekali pak?”
“Cepet… Cepet…” jawab si bapak tambah kesal.
Dengan reflek-lah saya memberikan kertas yang mampu menghidupi saya untuk beberapa hari ke depan sebagai perantau. SIM dikembalikan oleh si bapak. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan, meninggalkan si ibu dengan si bapak yang tidak bisa saya prediksi sampai kapan akan berakhir. Melanjutkan perjalanan hingga Terboyo Kulon (tetep nekat) dan pulang dengan selamat.

Sore ini, Allah telah menunjukkan banyak hal kepada saya khususnya. Peristiwa demi peristiwa dalam satu waktu. Tentang … MORAL. Ketika mereka yang di amanahkan untuk melindungi dan melayani kami sebagai warga negara yang berhak dilingdungi pun dilayani, mencoreng amanah mulia itu.

Pertama, mungkin saya agak polos tentang kenapa si ibu rela turun dari mobilnya dan menyeberang jalan hanya untuk mengambil gambar suatu kegiatan yang dilakukan si bapak. Tapi, saya melihat sebagai orang awam, perilaku kasar si bapak terhadap si ibu. Membentaknya, seakan “melindungi” hanya kata cantik untuk memperindah mobil dinasnya. Begitukah perilaku mereka memberi perlindungan kepada kami yang berhak untuk dilindungi???

Kedua, tentang bapak yang datangnya jauh lebih akhir daripada saya. Mendapat sambutan indah oleh si bapak dalam mobil yang awalnya sedang sibuk melayani "mangsa" yang lain. Si bapak rela keluar dari dalam mobil hanya untuk bersalaman dengan bapak “mangsa” itu, dan mempersilahkannya untuk pergi tanpa proses panjang seperti kami. Begitukah perilaku mereka memberi pelayanan yang baik untuk kami yang sudah menunggu hampir 30 menit???

Ketiga, saya memang mahasiswa. Yang kata orang banyak menuntut. Menuntut perubahan, tentang kemajuan, kesejahteraan bangsa, dan lain sebagainya. Tapi saya sadar, hari ini saya benar – benar salah. Tidak patuh dengan peraturan yang ada. Insya Allah, ini adalah yang pertama dan yang terakhir kalinya. Namun jujur, saya memang belum benar - benar paham terkait pelanggaran hukum yang saya lakukan. Masalahnya, si bapak tidak menjelaskan (mungkin belum sempat) bagaimana tata cara yang benar menyelesaikan masalah seperti ini. Mekanismenya seperti apa (?). Bukan langsung menodong saya dengan nominal jumlah uang yang harus dibayarkan, seperti preman pasar. Jika saya tahu mekanismenya pasti saya juga akan langsung membayarkan nominal jumlah uang yang disebutkan. Karena motor itu bukan milik saya, takut mendzolimi jika harus satu bulan menunggu, haha *kabur

PENGALAMAN ADALAH GURU PALING BERHARGA
Ini bukan pernyataan kelaziman saya karena telah melakukan kesalahan, tapi ini pembenaran (sama aja dong ya).
Mungkin, jika saya tidak pernah mengalami peristiwa ini, saya tidak kapok melalang buana tanpa surat – surat lengkap.
Mungkin juga, jika saya tidak pernah mengalami peristiwa ini, saya tidak bisa menulis dan berbagi dengan kalian atas bobroknya moral bangsa ini, termasuk saya. 

Kapok gak lagi - lagi. 130913