Kualitas
hidup rakyat merupakan salah satu pencapaian peran pemerintah. Membentuk suatu
tatanan kenegaraan yang terstruktur rapi, yang tertuang dalam sebuah peraturan
kenegaraan, kebijakan hukum, undang-undang, tata nilai merupakan hal yang dapat
dilakukan. Pembangungan fasilitas dan infrastruktur yang memadai sebagai
penunjang pencapaian kualitas hidup rakyat juga merupakan peran pemerintah.
Namun, usaha-usaha tersebut sering terhambat dengan adanya praktik-praktik tidak
bertanggung jawab dari pemerintah, yang menempatkan kepentingan individu di
atas kepentingan golongan, menempatkan kepentingan golongan atau kelompok di
atas kepentingan negara. Permasalahan terbesar
sebagai penghambat pencapaian kualitas hidup rakyat tersebut adalah praktik
korupsi. Tidak jarang dalam beberapa kasus, praktik korupsi dilakukan dalam
prosedur. Sehingga, hal ini dianggap legal dan termasuk hal yang lumrah
terjadi. Sungguh konflik laten yang di ‘rekayasa’, agar seolah-olah tidak
terjadi dan tidak ditindaklanjuti. Hal inilah yang membuat korupsi di
pemerintahan kita membudaya dan mengakar di seluruh lapisan pemerintahan.
Potret pemerintahan tercoreng dengan perilaku memalukan tersebut. Setelah kabar
baik tentang kondisi perekonomian kita pada tahun 2009, ternyata pemerintah
kita telah mengantarkan Indonesia sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik dari
16 negara yang menjadi tujuan investasi bisnis berdasarkan data Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) di Hong Kong tahun 2010, serta menjadi negara
ke-3 terkorup di dunia.
Kita lihat saja dari berbagai kasus besar di beberapa
akhir tahun ini, hampir seluruhnya merupakan kasus korupsi, hingga menutupi
berita tentang prestasi anak bangsa. Dimulai dari kasus ‘Cicak vs Buaya’, drama
Century yang hingga sekarang masih dalam episode tergantungkan, korupsi dana
Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), gonjang-ganjing aliran dana
nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), kasus suap Wisma Atlet
Jakabaring Februari lalu, permainan uang dalam proses pemilihan Gubernur BI
(Miranda S Gultom), dan masih banyak kasus-kasus korupsi yang belum tersentuh
media.
Berita
dari salah satu Koran Nasional tertanggal 15 Juni 2011 tentang “Masyarakat Kian
Permisif terhadap Korupsi” sangat mengejutkan. Dalam tulisan ini, memaparkan
bahwa fenomena yang terjadi saat ini korupsi merupakan suatu hal yang telah
memunculkan budaya bahkan ideologi apatisme yang timbul di kalangan masyarakat
Indonesia. Hal ini nyata terjadi, dibuktikan dengan beberapa pejabat yang
menjadi terdakwa korupsi, akan tetapi masih memenangkan pilkada di daerah
pencalonannya. Misalnya, Yusak Waluyo yang memenangkan Pilkada Kabupaten Boven
Digoel, Papua. Faktanya, dia sudah divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan
Tipikor dalam korupsi APBD Rp 66 miliar. Kemudian, ada Jefferson M Rumaja yang
memenangkan Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Ia juga tersangkut korupsi APBD
2006-2008 Rp 19,8 miliar (Kompas 15/06/12). Dari sifat permisif tersebut, dapat
manimbulkan sebuah ideologi yang melegitimasi tindakan koruptifnya dengan
memunculkan budaya dan lingkungan yang membuat orang disekitar mudah melakukan
tindakan korupsi. Dari segi lingkungan, hal ini dibuktikan dengan memunculkan
lingkungan yang lambat laun para birokratpun akan permisif terhadap tindakan
koruptif.
Melihat
fenomena tersebut, penanganan korupsi di Indonesia memiliki segudang
permasalahan yang klasik dan sistemik. Maka dari itu, permasalahan korupsi ini
sebenarnya dapat terselesaikan jika tumbuh kesadaran pada diri masing-masing
individu melalui berbagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran itu sendiri.
Pertama, reformasi sistem politik. Sebagaimana kita tahu bahwa, Indonesia baru
hanya sebatas reformasi sistem pemerintahan semata. Namun, tidak merubah
tradisi ‘politik kepentingan’ budaya birokrasi koruptif yang justru semakin
berkembang biak dan berjaring. Adanya upaya penyehatan sistem kultur politik
dengan mengubah pola informasi menjadi terbuka, ideologisasi etika publik yang
mengarah pada aspek moral bagi para pelaku politik dalam berdemokrasi dan
bertanggung jawab pada amanahnya. Kedua adalah Pengembangan pendidikan
bernegara, Titik tekannya adalah bagaimana seluruh jajaran pemerintahan dan
masyarakat mendapat proses pengideologisasian karakter secara intensif yang
didekatkan dengan nilai-nilai kebhinekaan, moral, dan nilai kedaulatan dalam
berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat terjadi jika ada kesinambungan antara
pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus tegas dalam setiap penanganan hukum
serta pemberian apresiasi dan perlindungan kepada pelapor tersangka korupsi,
kerena sejauh ini yang melaporkan malah menjadi tersangka. Hal ini yang membuat
pemerintah maupun rakyat enggan berurusan dengan mafia-mafia hukum tersebut.
Melalui solusi yang ditawarkan, diharapkan terjadinya proses keseimbangan dalam pemerintahan dan budaya pertisipasi masyarakat yang legitimate dengan pengidiologisasian yang mengarah pada kepentingan publik diharapkan juga mampu mewujudkan pemurnian dalam tradisi pemerintahan kita yang bebas dari korupsi. Semoga saja!
Allahua'lam bisshowab